Pungutan Dana Ekspor Produk Hilir Sawit Diusulkan Turun
Dalam waktu dekat ini, Kementerian Perindustrian akan mengusulkan penurunan pungutan
dana ekspor produk hilir sawit yang masih dikisaran 20 dolar AS per MT atau
sekitar Rp 265.724,-. Tidak dipungkiri bahwa pungutan dana ekspor produk hilir sawit ini cukup tinggi dimana pungutan tersebut sangat memberatkan
pengusaha dan dapat mengancam turunnya produksi dan ekspor produk hilir kelapa sawit
"Saat ini kami sedang bicarakan di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian untuk kita rasionalisasikan lagi harganya," ujar Panggah Susanto, Dirjen Industri Agro Kementerian Perindustrian (Kemenperin) di Jakarta.
Bagaimanapun, tingginya pungutan dana ekspor produk hilir sawit tersebut sangat kontraproduktif terhadap industri hilir sawit. Hal ini nyata-nyata bisa menghambat ekspor dan malah bisa menurunkan produksi sawit.
"Sebagai informasi, bahwa usulan rencana penurunan pungutan dana ekspor produk hilir sawit tersebut akan berlaku untuk seluruh produk turunan CPO, termasuk biodiesel dan minyak goreng," tambah Panggah lagi.
Namun demikian, model penurunan ini masih fleksibel dan turunnya ini karena harga CPO di pasar internasional akhir-akhir ini cenderung turun. Dan bagaimanapun, pungutan yang dikelola Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP) untuk industri turunan sawit masih tetap ada dan masih diperlukan.
Dilain pihak, Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indomesia (GIMNI) Sahat Sinaga menilai lain terhadap adanya pungutan dana ekspor produk hilir sawit ini. Ia menyebutkan bahwa pungutan dana produk hilir sawit sangat berpotensi menekan ekspor produk sawit secara keseluruhan.
Sinaga dengan terang-terangan menyatakan protes terhadap adanya pungutan dana ekspor produk hilir sawit yang masih diberlakukan ini. Selain itu, pemerintah juga tidak bersikap kooperatir dimana tidak mengajak asosiasi yang ada untuk terlibat dan mendiskusikannya.
"Kami sebenarnya sangat berharap sekali agar tim tarif yang dibentuk dapat berkomunikasi dengan asosiasi. Namun yang terjadi di luar yang kami harapkan, keputusan pungutan dana ekspor dan bea keluar langsung diputuskan begitu saja," ujarnya kecewa.
Sinaga berpendapat bahwa dengan tetap adanya pungutan ini maka investasi yang telah digelontorkan investor di sektor hilir sawit sebesar 2,7 miliar dolar AS atau sekitar Rp 35 triliun pada 2012 lalu akan percuma dan tidak ada artinya. Kenapa? karena produk turunan sawit kita jadi sulit bersaing dengan negara kompetitor terbesar kita seperti Malaysia.
Sebagai informasi bahwa rencana pungutan ekspor produk hilir sawit diusulkan dalam Rapat Gabungan Tim Tariff pada Rabu tanggal 10/6/2016. Tim tarif yang dibentuk berasal dari perwakilan Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian, Kementerin Perindustrian, Bea Cukai, Badan Kebijakan Fiskal.
"Saat ini kami sedang bicarakan di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian untuk kita rasionalisasikan lagi harganya," ujar Panggah Susanto, Dirjen Industri Agro Kementerian Perindustrian (Kemenperin) di Jakarta.
Bagaimanapun, tingginya pungutan dana ekspor produk hilir sawit tersebut sangat kontraproduktif terhadap industri hilir sawit. Hal ini nyata-nyata bisa menghambat ekspor dan malah bisa menurunkan produksi sawit.
"Sebagai informasi, bahwa usulan rencana penurunan pungutan dana ekspor produk hilir sawit tersebut akan berlaku untuk seluruh produk turunan CPO, termasuk biodiesel dan minyak goreng," tambah Panggah lagi.
Namun demikian, model penurunan ini masih fleksibel dan turunnya ini karena harga CPO di pasar internasional akhir-akhir ini cenderung turun. Dan bagaimanapun, pungutan yang dikelola Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP) untuk industri turunan sawit masih tetap ada dan masih diperlukan.
Dilain pihak, Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indomesia (GIMNI) Sahat Sinaga menilai lain terhadap adanya pungutan dana ekspor produk hilir sawit ini. Ia menyebutkan bahwa pungutan dana produk hilir sawit sangat berpotensi menekan ekspor produk sawit secara keseluruhan.
Sinaga dengan terang-terangan menyatakan protes terhadap adanya pungutan dana ekspor produk hilir sawit yang masih diberlakukan ini. Selain itu, pemerintah juga tidak bersikap kooperatir dimana tidak mengajak asosiasi yang ada untuk terlibat dan mendiskusikannya.
"Kami sebenarnya sangat berharap sekali agar tim tarif yang dibentuk dapat berkomunikasi dengan asosiasi. Namun yang terjadi di luar yang kami harapkan, keputusan pungutan dana ekspor dan bea keluar langsung diputuskan begitu saja," ujarnya kecewa.
Sinaga berpendapat bahwa dengan tetap adanya pungutan ini maka investasi yang telah digelontorkan investor di sektor hilir sawit sebesar 2,7 miliar dolar AS atau sekitar Rp 35 triliun pada 2012 lalu akan percuma dan tidak ada artinya. Kenapa? karena produk turunan sawit kita jadi sulit bersaing dengan negara kompetitor terbesar kita seperti Malaysia.
Sebagai informasi bahwa rencana pungutan ekspor produk hilir sawit diusulkan dalam Rapat Gabungan Tim Tariff pada Rabu tanggal 10/6/2016. Tim tarif yang dibentuk berasal dari perwakilan Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian, Kementerin Perindustrian, Bea Cukai, Badan Kebijakan Fiskal.
Post A Comment
No comments :